Surat Buat Pramoedya[1]
Oleh Joko Gesang Santoso
Bung ...
Atas dasar apa surat
ini dibuat, saya tidak perlu sampaikan. Apakah surat ini akan sampai kepada
Bung nantinya juga bukan hal yang saya pedulikan sangat.
Bung ...
Adalah saya, orang
muda yang belum sempat berkenalan dengan Bung sebelumnya, begitu mengagumi
huruf-huruf yang Bung ciptakan. Bahkan, mungkin banyak orang di seluruh dunia
sana, menyimpan kumpulan huruf-huruf Bung di rak bukunya.
Ya, huruf-huruf itu,
seberapa berartinya huruf bagi kemanusiaan, itulah yang akan kita bicarakan di
sini. Bung sendiri pernah menulis sebuah puisi yang berjudul Huruf[2]
seperti berikut ini.
HURUF
Wahai huruf,
Bertahun kupelajari
kau,
Kucari faedah dan
artimu,
Kudekati kau saban
hari,
Saban aku jaga,
Kutatap dikau
dengan pengharapan,
Pengharapan yang
tidak jauh
Dari hendak ingin
dapat dan tahu.
Tetapi; kecewa
hatiku.
Kupergunakan kamu
Menjadi senjata di
alam kanan,
Agaknya belum juga
berfaedah
Seperti yang
kuhendakkan.
Selalu dikau
kususun rapi
Di atas kertas pengharapan
yang maha tinggi,
Tetapi ...
Bilalah aku
diliputi asap kemenyan sari,
Tak kuasa aku
menyusun kamu
Hingga susunan itu
dapat dirasakan pula
Oleh segenap dunia
Sebagai yang kurasa
pada waktu itu.
Alangkah akan
tinggi ucapan
Terima kasihku,
bilalah kamu
Menjadi buku
terbuka,
Bagi manusia yang
membacanya.
Kalaulah aku
direndam lautan api,
Hendaklah kamu
merendam pembacamu,
Bilalah aku disedu
pilu,
Hendaklah kamu
merana dalam hatinya.
Huruf, huruf ...
Apalah nian
sebabnya maka kamu
Belum tahu maksudku?
Apa
yang Bung harapkan dari huruf? Apa yang Bung bebankan daripadanya sehingga Bung
begitu menyanjung dan menyayangi layaknya anak Bung sendiri? Bung, huruf, yang
kemudian kita kenal sebagai bahasa, pernah diperjuangkan kemandiriannya sebagai
ilmu. Salah satunya dengan menempatkan dalil-dalil daripadanya. Kita
masing-masing mengenal Ludwig Josef Johann Wittgenstein si ahli bahasa
keturunan Yahudi itu. Cara berpikirnya amatlah atomistis, yang dibuktikannya
dengan menyebut bahwa bahasa haruslah terbebas dari tiga hal, yang disebutnya
dengan The Mystical[3].
Tiga
hal itu adalah: aku, Tuhan, dan kematian. Hal pertama, yaitu aku, tentu merujuk
pada subjektivitas. Maksudnya antara lain bahwa subjektivitas itu sendiri tidak
bisa dijangkau oleh siapapun kecuali dirinya sendiri. Hal kedua, yaitu Tuhan,
dengan alasan bahwa Tuhan tidak pernah menampakkan diri di dunia, maka layaknya
aku tadi, Tuhan tidak bisa dibicarakan dalam bahasa sebagai fakta. Hal terakhir
adalah kematian, yaitu bahwa kematian itu sendiri bukan bagian dari dunia.
Orang dapat melihat seseorang lainnya mati, tetapi tidak pernah paham dengan
kematian itu sendiri.
Bung
...
Huruf
serupa itu tentu bukan huruf yang Bung harap-harapkan.
Suatu
kali, ketika saya sedang mengajar mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia di sebuah kampus, saya melontarkan pertanyaan ringan, “Coba
sebutkan, apa yang bukan bahasa di dunia ini?” Walaupun pertanyaan serupa itu
saya anggap pertanyaan ringan, tetapi reaksinya cukup lumayan. Tampaknya
mahasiswa-mahasiswa itu menjadi berpikir sungguh-sungguh. Barangkali mereka
mulai mencari apa yang bukan bahasa di dunia ini. Setelah saya tunggu beberapa
saat ternyata tidak satu pun menjawab. Saya perhatikan wajah mereka satu
persatu. Tampak ada yang masih serius berpikir. Ada yang menggaruk bagian
kepalanya. Ada yang menunduk untuk menghindari tatapan mata saya.
Dan,
Bung tahu ...
Semenjak
saat itu, mahasiswa-mahasiswa tersebut tidak pernah meremehkan kuliah bahasa
dan sastra Indonesia. Alangkah terkejutnya saya sebelumnya, bahwa ternyata
mereka tidaklah terlalu percaya diri kuliah di jurusan itu. Ketika mereka
menyadari bahwa tidak ada di dunia ini yang bukan bahasa, artinya semua yang
ada di dalam pikiran mereka, di dunia ini adalah bahasa, mereka tampak begitu
bersemangat kuliah. Mereka nyata menjadi sadar pentingnya huruf itu sendiri,
Bung! Barangkali demikian juga dalil Gadamer yang mengatakan bahwa pikiran
adalah bahasa, dan oleh karenanya huruf itu sendiri.
Tetapi,
Bung ...
Bukankah
huruf mengajarkan individualitas? Huruf menciptakan ruang-ruang bagi individu
untuk menjadi invidualistis? Bukankah yang demikian itu menjauhkan sifat-sifat
dasar kemanusiaan sebagai makhluk sosial? Jadi, apakah benar dunia memang Bukan Pasar Malam? Masing-masing manusia
terlahir sebagai individu dan mati tidak lain juga sebagai individu?
Saya
ingat kata-kata Bung yang berbunyi demikian:
“Individualitas
tidak diajarkan dalam keluarga kita. Keberanian individual tidak pernah ada,
kecuali di Aceh. Yang ada adalah semangat kelompok saja. Masyarakat kita berani
hanya kalau mereka berada dalam satu kelompok. Hasilnya, ya, seperti yang
banyak terjadi sekarang ini: tawuran desa lawan desa, kampung lawan kampung,
pelajar lawan pelajar, bahkan tawuran mahasiswa lawan mahasiswa! Semua ini
begini karena kurangnya individualitas dan kepribadian.”[4]
Ah,
Bung ..., hal ini memang menggelikan.
Bagaimana
tidak? Alih-alih belajar berani secara individu, masyarakat kita sekarang lebih
dikenal dengan masyarakat maju mundur
cantik. Mau maju atau kembali mundur asal cantik. Jadi, persetan
dengan pendirian, yang terpenting di masyarakat kita sekarang ini adalah muka
yang dipatut-patut sedemikan rupa. Bagian permukaan yang otomatis menjadi
primer, sementara bagian isi yang seharusnya primer justru dianggap senseless.
Apa
yang dipercaya umum, itulah yang dipercaya oleh individu. Hal demikian
mendorong individu tidak sebagai individu seutuhnya, tetapi sebagai, dan bahkan
sangat bergantung terhadap banyak individu yang lain. Pikiran individu hampir
tidak berlaku, yang berlaku justru pikiran massa. Tidak peduli massa itu siapa
saja, ketika massa mengagungkan sesuatu, maka agunglah sesuatu itu bagi
individu.
Bung
...
Dalam
sebuah workshop di sebuah balai bahasa, ada seorang pembicara yang begitu
bersemangat menyampaikan materinya. Tetapi, di meja paling belakang, terlihat
seorang pegawai balai bahasa sedang asyik mengasah batu akik yang menempel di
jarinya. Cara mengasahnya persis: maju
mundur cantik, di atas permukaan kain celananya. Pegawai balai bahasa itu
tidak peduli apa yang dibicarakan pembicara, tetapi justru berkonsentrasi
dengan akik di jarinya.
Akik,
Bung ... entah Bung menyebutnya apa, juga utopia yang sama dari masyarakat
kita. Akik menjelma ruang antik bagi individu untuk sekian makna utopia yang
beragam. Ragam ruang makna demikian, barangkali yang disebut Michel Foucault
dengan heterotopia.
Masyarakat
maju mundur cantik, ataupun
masyarakat akik itu, perlu Bung ketahui juga telah melahirkan angkatan baru
dalam sastra. Ah, sayang Bung belum mengenal facebook, salah satu gambaran global
village yang telah lama diramalkan itu! Saban hari, banyaklah angkatan-angkatan
muda memberi selamat pada kelahiran buku sastranya sendiri. Bung tahu? Dengan
uang, siapa saja bisa menerbitkan karya sastranya dengan begitu mudahnya.
Dengan hal yang sama pula, ia bisa membayar pembicara kondang untuk membahas
karyanya.
Bahkan,
teman kuliah saya, di kampus terkenal, dalam dua semester telah menerbitkan dua
kumpulan puisi. Kumpulan puisi tersebut usut punya usut adalah coretan-coretan
di facebook yang dikumpulkannya. Atas
hal itu, karibnya menjadi sangat malu, dan berkata kepada saya, “Bagaimana ia
bisa berbuat semacam itu sementara ia adalah intelektual!”
Namun,
Huruf ... seperti kata Bung sendiri:
Tetapi; kecewa
hatiku.
Kupergunakan kamu
Menjadi senjata di
alam kanan,
Agaknya belum juga
berfaedah
Seperti yang
kuhendakkan.
Selalu dikau
kususun rapi
Di atas kertas
pengharapan yang maha tinggi
harapan tinggi yang
dibebankan kepadanya tidaklah berjalan seperti apa yang diinginkan. Barangkali
masyarakat sekarang tidak perlu merasa melawan apa yang Bung sebut dengan alam kanan, yaitu kekuasaan itu. Apa
sebab? Kita mungkin saling memahami bahwa manusia alam kanan itu sekarang membangun konstruksi, meracik
strukturasi-strukturasi, membentengi diri dengan tatanan yang nyaris suci
semacam Sacred Canopy[5].
Berniat bertanya atau mengkritisi saja hukumnya haram, apalagi bertanya atau
mengkritik sungguhan.
Huruf, Bung, di era sekarang mungkin
tidak akan mengantarkan kemanusiaan pada tatanan yang adil dan beradab. Mungkin
benar apa yang dilakukan Stuart Hall dengan Cultural
Studies-nya, dan barangkali juga Pierre Bordieu, bahwa jika huruf, bahasa,
ilmu, filsafat, tidak cukup mengatasi ketimpangan sosial, maka tindakanlah yang
diperlukan. Tetapi, belum lagi bertindak lebih jauh, Bung sendiri mengatakan
bahwa bumi manusia ini sudah selalu
berada dalam rumah kaca. Segala
tindakan menuju kemanusiaan yang adil dan beradab sudah selalu kalah.
Dari situ, barulah saya mengerti apa
yang Bung gelisahkan sendiri selama ini, yaitu mengapa Bung terbakar amarah sendirian, dan selalu
berharap ingin lihat semua ini berakhir.
Barangkali happy land somewhere itu
memang belum pernah ada, atau tidak ada sama sekali. Kemanusiaan yang adil dan
beradab masih nowhere. Dan, huruf itu
Bung, masih maju mundur cantik, serta
utopis macam batu akik. Dan, ah, saya malu, jangan-jangan saya juga salah satu
yang maju mundur cantik itu, atau yang
meruang nyaman dalam gilang-gemilang batu akik? Sudahlah, sebaiknya saya akhiri
pembicaraan ini. Terima kasih.
Salam.
Yogyakarta, 07 Mei
2015
[1] Disampaikan pada Haul Pram, Laboratorium Karawitan, FBS, UNY 09 Mei
2015.
[2] Pramoedya Ananta Toer, Menggelinding
1, Jakarta: Lentera Dipantara, 2004, hlm. 7-8.
[3] Ludwig Wittgenstein, Tractatus
Logico – Philosophicus, London: Routledge & Kegan Paul, 1961.
[4] André Vltchek & Rossie Indira, Saya
Terbakar Amarah Sendirian!: Pramoedya Ananta Toer dalam Perbincangan dengan
André Vltchek & Rossie Indira, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2006,
hlm. 5.
[5] Istilah Peter L. Berger dan Thomas Luckmann
Saya suka cara kamu menyampaikannya...
BalasHapusSedikit bercerita pada seorang "pelita".
Salam...
Terima kasih, Bung...
Hapus