Jumat, 22 Mei 2015

Surat Buat Pramoedya



Surat Buat Pramoedya[1]
Oleh Joko Gesang Santoso


Bung ...
Atas dasar apa surat ini dibuat, saya tidak perlu sampaikan. Apakah surat ini akan sampai kepada Bung nantinya juga bukan hal yang saya pedulikan sangat.

Bung ...
Adalah saya, orang muda yang belum sempat berkenalan dengan Bung sebelumnya, begitu mengagumi huruf-huruf yang Bung ciptakan. Bahkan, mungkin banyak orang di seluruh dunia sana, menyimpan kumpulan huruf-huruf Bung di rak bukunya.

Ya, huruf-huruf itu, seberapa berartinya huruf bagi kemanusiaan, itulah yang akan kita bicarakan di sini. Bung sendiri pernah menulis sebuah puisi yang berjudul Huruf[2] seperti berikut ini.

HURUF

Wahai huruf,
Bertahun kupelajari kau,
Kucari faedah dan artimu,
Kudekati kau saban hari,
Saban aku jaga,
Kutatap dikau dengan pengharapan,
Pengharapan yang tidak jauh
Dari hendak ingin dapat dan tahu.

Tetapi; kecewa hatiku.
Kupergunakan kamu
Menjadi senjata di alam kanan,
Agaknya belum juga berfaedah
Seperti yang kuhendakkan.
Selalu dikau kususun rapi
Di atas kertas pengharapan yang maha tinggi,

Tetapi ...
Bilalah aku diliputi asap kemenyan sari,
Tak kuasa aku menyusun kamu
Hingga susunan itu dapat dirasakan pula
Oleh segenap dunia
Sebagai yang kurasa pada waktu itu.

Alangkah akan tinggi ucapan
Terima kasihku, bilalah kamu
Menjadi buku terbuka,
Bagi manusia yang membacanya.

Kalaulah aku direndam lautan api,
Hendaklah kamu merendam pembacamu,
Bilalah aku disedu pilu,
Hendaklah kamu merana dalam hatinya.

Huruf, huruf ...
Apalah nian sebabnya maka kamu
Belum tahu maksudku?


Apa yang Bung harapkan dari huruf? Apa yang Bung bebankan daripadanya sehingga Bung begitu menyanjung dan menyayangi layaknya anak Bung sendiri? Bung, huruf, yang kemudian kita kenal sebagai bahasa, pernah diperjuangkan kemandiriannya sebagai ilmu. Salah satunya dengan menempatkan dalil-dalil daripadanya. Kita masing-masing mengenal Ludwig Josef Johann Wittgenstein si ahli bahasa keturunan Yahudi itu. Cara berpikirnya amatlah atomistis, yang dibuktikannya dengan menyebut bahwa bahasa haruslah terbebas dari tiga hal, yang disebutnya dengan The Mystical[3].
Tiga hal itu adalah: aku, Tuhan, dan kematian. Hal pertama, yaitu aku, tentu merujuk pada subjektivitas. Maksudnya antara lain bahwa subjektivitas itu sendiri tidak bisa dijangkau oleh siapapun kecuali dirinya sendiri. Hal kedua, yaitu Tuhan, dengan alasan bahwa Tuhan tidak pernah menampakkan diri di dunia, maka layaknya aku tadi, Tuhan tidak bisa dibicarakan dalam bahasa sebagai fakta. Hal terakhir adalah kematian, yaitu bahwa kematian itu sendiri bukan bagian dari dunia. Orang dapat melihat seseorang lainnya mati, tetapi tidak pernah paham dengan kematian itu sendiri.
Bung ...
Huruf serupa itu tentu bukan huruf yang Bung harap-harapkan.
Suatu kali, ketika saya sedang mengajar mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di sebuah kampus, saya melontarkan pertanyaan ringan, “Coba sebutkan, apa yang bukan bahasa di dunia ini?” Walaupun pertanyaan serupa itu saya anggap pertanyaan ringan, tetapi reaksinya cukup lumayan. Tampaknya mahasiswa-mahasiswa itu menjadi berpikir sungguh-sungguh. Barangkali mereka mulai mencari apa yang bukan bahasa di dunia ini. Setelah saya tunggu beberapa saat ternyata tidak satu pun menjawab. Saya perhatikan wajah mereka satu persatu. Tampak ada yang masih serius berpikir. Ada yang menggaruk bagian kepalanya. Ada yang menunduk untuk menghindari tatapan mata saya.
Dan, Bung tahu ...
Semenjak saat itu, mahasiswa-mahasiswa tersebut tidak pernah meremehkan kuliah bahasa dan sastra Indonesia. Alangkah terkejutnya saya sebelumnya, bahwa ternyata mereka tidaklah terlalu percaya diri kuliah di jurusan itu. Ketika mereka menyadari bahwa tidak ada di dunia ini yang bukan bahasa, artinya semua yang ada di dalam pikiran mereka, di dunia ini adalah bahasa, mereka tampak begitu bersemangat kuliah. Mereka nyata menjadi sadar pentingnya huruf itu sendiri, Bung! Barangkali demikian juga dalil Gadamer yang mengatakan bahwa pikiran adalah bahasa, dan oleh karenanya huruf itu sendiri.
Tetapi, Bung ...
Bukankah huruf mengajarkan individualitas? Huruf menciptakan ruang-ruang bagi individu untuk menjadi invidualistis? Bukankah yang demikian itu menjauhkan sifat-sifat dasar kemanusiaan sebagai makhluk sosial? Jadi, apakah benar dunia memang Bukan Pasar Malam? Masing-masing manusia terlahir sebagai individu dan mati tidak lain juga sebagai individu?
Saya ingat kata-kata Bung yang berbunyi demikian:

“Individualitas tidak diajarkan dalam keluarga kita. Keberanian individual tidak pernah ada, kecuali di Aceh. Yang ada adalah semangat kelompok saja. Masyarakat kita berani hanya kalau mereka berada dalam satu kelompok. Hasilnya, ya, seperti yang banyak terjadi sekarang ini: tawuran desa lawan desa, kampung lawan kampung, pelajar lawan pelajar, bahkan tawuran mahasiswa lawan mahasiswa! Semua ini begini karena kurangnya individualitas dan kepribadian.”[4]

Ah, Bung ..., hal ini memang menggelikan.
Bagaimana tidak? Alih-alih belajar berani secara individu, masyarakat kita sekarang lebih dikenal dengan masyarakat maju mundur cantik. Mau maju atau kembali mundur asal cantik. Jadi, persetan dengan pendirian, yang terpenting di masyarakat kita sekarang ini adalah muka yang dipatut-patut sedemikan rupa. Bagian permukaan yang otomatis menjadi primer, sementara bagian isi yang seharusnya primer justru dianggap senseless.
Apa yang dipercaya umum, itulah yang dipercaya oleh individu. Hal demikian mendorong individu tidak sebagai individu seutuhnya, tetapi sebagai, dan bahkan sangat bergantung terhadap banyak individu yang lain. Pikiran individu hampir tidak berlaku, yang berlaku justru pikiran massa. Tidak peduli massa itu siapa saja, ketika massa mengagungkan sesuatu, maka agunglah sesuatu itu bagi individu.
Bung ...
Dalam sebuah workshop di sebuah balai bahasa, ada seorang pembicara yang begitu bersemangat menyampaikan materinya. Tetapi, di meja paling belakang, terlihat seorang pegawai balai bahasa sedang asyik mengasah batu akik yang menempel di jarinya. Cara mengasahnya persis: maju mundur cantik, di atas permukaan kain celananya. Pegawai balai bahasa itu tidak peduli apa yang dibicarakan pembicara, tetapi justru berkonsentrasi dengan akik di jarinya.
Akik, Bung ... entah Bung menyebutnya apa, juga utopia yang sama dari masyarakat kita. Akik menjelma ruang antik bagi individu untuk sekian makna utopia yang beragam. Ragam ruang makna demikian, barangkali yang disebut Michel Foucault dengan heterotopia.
Masyarakat maju mundur cantik, ataupun masyarakat akik itu, perlu Bung ketahui juga telah melahirkan angkatan baru dalam sastra. Ah, sayang Bung belum mengenal facebook, salah satu gambaran global village yang telah lama diramalkan itu! Saban hari, banyaklah angkatan-angkatan muda memberi selamat pada kelahiran buku sastranya sendiri. Bung tahu? Dengan uang, siapa saja bisa menerbitkan karya sastranya dengan begitu mudahnya. Dengan hal yang sama pula, ia bisa membayar pembicara kondang untuk membahas karyanya.
Bahkan, teman kuliah saya, di kampus terkenal, dalam dua semester telah menerbitkan dua kumpulan puisi. Kumpulan puisi tersebut usut punya usut adalah coretan-coretan di facebook yang dikumpulkannya. Atas hal itu, karibnya menjadi sangat malu, dan berkata kepada saya, “Bagaimana ia bisa berbuat semacam itu sementara ia adalah intelektual!”
Namun, Huruf ... seperti kata Bung sendiri:

Tetapi; kecewa hatiku.
Kupergunakan kamu
Menjadi senjata di alam kanan,
Agaknya belum juga berfaedah
Seperti yang kuhendakkan.
Selalu dikau kususun rapi
Di atas kertas pengharapan yang maha tinggi   


harapan tinggi yang dibebankan kepadanya tidaklah berjalan seperti apa yang diinginkan. Barangkali masyarakat sekarang tidak perlu merasa melawan apa yang Bung sebut dengan alam kanan, yaitu kekuasaan itu. Apa sebab? Kita mungkin saling memahami bahwa manusia alam kanan itu sekarang membangun konstruksi, meracik strukturasi-strukturasi, membentengi diri dengan tatanan yang nyaris suci semacam Sacred Canopy[5]. Berniat bertanya atau mengkritisi saja hukumnya haram, apalagi bertanya atau mengkritik sungguhan.
            Huruf, Bung, di era sekarang mungkin tidak akan mengantarkan kemanusiaan pada tatanan yang adil dan beradab. Mungkin benar apa yang dilakukan Stuart Hall dengan Cultural Studies-nya, dan barangkali juga Pierre Bordieu, bahwa jika huruf, bahasa, ilmu, filsafat, tidak cukup mengatasi ketimpangan sosial, maka tindakanlah yang diperlukan. Tetapi, belum lagi bertindak lebih jauh, Bung sendiri mengatakan bahwa bumi manusia ini sudah selalu berada dalam rumah kaca. Segala tindakan menuju kemanusiaan yang adil dan beradab sudah selalu kalah.
            Dari situ, barulah saya mengerti apa yang Bung gelisahkan sendiri selama ini, yaitu mengapa Bung terbakar amarah sendirian, dan selalu berharap ingin lihat semua ini berakhir. Barangkali happy land somewhere itu memang belum pernah ada, atau tidak ada sama sekali. Kemanusiaan yang adil dan beradab masih nowhere. Dan, huruf itu Bung, masih maju mundur cantik, serta utopis macam batu akik. Dan, ah, saya malu, jangan-jangan saya juga salah satu yang maju mundur cantik itu, atau yang meruang nyaman dalam gilang-gemilang batu akik? Sudahlah, sebaiknya saya akhiri pembicaraan ini. Terima kasih.

Salam.

Yogyakarta, 07 Mei 2015










[1] Disampaikan pada Haul Pram, Laboratorium Karawitan, FBS, UNY 09 Mei 2015.

[2] Pramoedya Ananta Toer, Menggelinding 1, Jakarta: Lentera Dipantara, 2004, hlm. 7-8.
[3] Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico – Philosophicus, London: Routledge & Kegan Paul, 1961.
[4] André Vltchek & Rossie Indira, Saya Terbakar Amarah Sendirian!: Pramoedya Ananta Toer dalam Perbincangan dengan André Vltchek & Rossie Indira, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2006, hlm. 5.
[5] Istilah Peter L. Berger dan Thomas Luckmann

2 komentar: